ppsunj.org – Anggota Dewan Profesor Unhas Tasrief Surungan menyebut rencana pendirian Institut Teknologi Sultan Hasanuddin melalui pemisahan Fakultas Teknik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dinilai melanggar Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2015 tentang Statuta Unhas.https://identitasunhas.com/wp-content/uploads/2022/10/Y-bridge.jpg
Padahal, surat pengusulan perihal pendirian institut teknologi telah diajukan oleh Rektor Unhas ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Prof Tasrief mengatakan, Rektor seolah kurang mencermati secara saksama Pasal 58 Bab VIII Tentang Perencanaan.https://identitasunhas.com/wp-content/uploads/2022/10/Y-bridge.jpg
Ayat (1) dari pasal tersebut menyebutkan bahwa rencana induk Unhas untuk tujuan jangka panjang disusun oleh Rektor dan disahkan oleh Majelis Wali Amanah (MWA).
“Itu sebabnya tadi saya sebut kurang cermat dan tidak membaca secara saksama pasal tersebut,” ujarnya, Minggu, (24/4/2022).
Menurut Fisikawan Teoritik ini, Rektor kelihatannya berpijak pada ketentuan ini dan tidak melihat sebagai suatu pelanggaran.
“Artinya, bunyi pasal ini, walaupun tanpa persetujuan oleh Senat Akademik (SA), klaim Rektor bisa dipandang tidak melanggar. Bahwa usulan itu sudah sampai ke Menteri dan tidak melibatkan SA dalam proasesnya memang tidak melanggar ketentuan statuta,” jelasnya.
Pelanggaran kata dia, terjadi bukan karena tidak adanya persetujuan SA, melainkan kekeliruan dalam memahami esensi dari pasal tersebut.
Frase kunci dalam pasal tersebut adalah Rencana Induk Pengembangan (RIP), dan ini yang secara fundamental dilanggar.
Lebih lanjut kata dia, jika kelak Menteri mangabulkan usulan tersebut, maka Menteri pun melakukan pelanggaran.

Institut Teknologi Sultan
Bahkan pelanggarannya disebut sangat serius sebab melanggar Peraturan Pemerintah (PP) yang hirarkinya dalam Sistem Perundang-Undangan hampir setara dengan Undang-Undang, yang notabenenya seorang menteri diangkat berdasarkan Peraturan Presiden.
Peraturan presiden dibuat untuk sepenuhnya menjalankan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
“Saya percaya bahwa seorang pejabat, termasuk Rektor, tidak mungkin secara sengaja membuat keputusan untuk melanggar peraturan/perundan-undangan. Umumnya pelanggaran itu terjadi akibat adanya pertimbangan subyektif atau kekeliruan dalam memahami ketentuan/aturan, baik yang disebut dalam pasal-pasal yang ada maupun yang menjadi benang merah (premis mayor) dari suatu aturan, yang menjiwai semua pasal yang ada,” jelas Tasrief.
Demikian ini yang terjadi dalam pengusulan pemisahan FT dari Unhas untuk dijadikan sebagai PTN baru (Institut Teknologi).
Rencana Induk Pengembangan (RIP) yang disebutkan dalam Pasal 58 tersebut seharusnya (tentu) sudah terdokumentasi awal, sudah disahkan oleh MWA dan sudah tersosialisasi sejak awal.
“Pertanyaan yang sulit dijawab oleh Rektor adalah, apakah keputusan tersebut, perihal pemisahan Fakultas Teknik memang tercantum dalam RIP? Jawabnya, tentu tidak ada. Kenapa? Sebab jika itu ada maka pasti akan menuai silang pendapat sejak awal,” ujarnya.
Pelanggaran secara esensial (hakekat) dari rencana tersebut sekiranya ada dalam RIP, artinya pemisahan itu, sama sekali tidak bermakna pengembangan, justru bermakna penciutan (shrinking) yang berarti tidak memenuhi unsur “pengembangan” dari “RIP”.
Padahal, salah satu tupoksi rektor berdasarkan Pasal 58 tersebut adalah menyusun RIP, sedangkan yang namanya rencana pasti terdokumentasi dan dibuat pada awal menjalankan amanah, bukan saat akhir (injury time).
Kalaupun ingin disebutkan bahwa pemisahan itu merupakan bagian dari penguatan kelembagaan Unhas sehingga menjadi lebih efisien, tetap sulit diterima sebab itu berarti harus ada data yang mengindikasikan bahwa keberadaan FT di Unhas selama ini menjadi beban. Kenyataannya, FT adalah bagian inti dari Unhas, fakultas paling besar dengan kontribusi dalam tridarma sangat signifikan.
Tentu saja sejumlah pihak, terutama yang bergelut dalam bidang IPTEK dan industri, sangat mengingingkan usulan tersebut terwujud, terutama untuk alasan pemerataan pembangunan.
Apalagi, Makassar sebagai salah satu kota hub (pusat perkembangan) di Indonesia, seharusnya memiliki sebuah institut teknologi yang cukup maju, setara dengan ITB dan ITS di Jawa.
“Melihat realitas ini, saya berpandangan bahwa memang cukup urgen mendirikan Institut Teknologi berstatus Negeri di beberapa kota besar di Indonesia Timur, terutama Makassar. Namun demikian, proses pendiriannya harus efektif dan efisien, mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah serta tidak melanggar aturan. Hal yang tak kalah penting, pendirian Institut teknologi tersebut tidak melemahkan keberadaan institusi yang sudah ada sebelumnya, termasuk PTNBH (Unhas),” jelasnya.
Lebih jauh kata Akademisi Unhas ini, ada warisan (legacy) dari masa pemerintahan Presiden SBY periode ke-2, terkait pendirian institut teknologi negeri.
Saat itu, pada tahun 2014 ditandatangani pendirian tiga institut teknologi negeri, masing-masing Institut Teknologi Kalimantan (ITK) di Balikpapan, Institut Teknologi Sumatra (ITERA) di Bandar Lampung dan Institut Teknologi Habibie di Pare-Pare didirikan.
Pendirian ketiga institut ini tidak melalui pemisahan fakultas teknik yang ada di Universitas yang sudah mapan.
Pertimbangannya tentu memperhitungkan keberadaan institusi Induk, jangan sampai kemudian mengganggu laju perkembangan yang sudah dicapai.
“Dua periode pemerintahan Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) saya kira perlu pula meninggalkan warisan berupa mendirikan satu institut teknologi negeri di Makassar yg kelak setara dengan ITB atau ITS, namun tidak ditempuh melalui pemisahan Fakultas Teknik dari induknya. Kalaupun masih ingin diupayakan, maka tempulah tidak dengan jalan memisahkan secara total, namun tetap memelihara fakuktas yang sdh ada sambil mencangkok cikal bakal institut teknologi tersebut. Alternatif lain, menjadikan Institut Teknologi Habibie di Pare-Pare kelak setara dengan ITB atau ITS,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Penyusunan Proposal Institut Teknologi Sultan Hasanuddin, Prof Saleh Pallu menyebut, dari awal Fakultas Teknik dipindahkan ke Gowa memang tujuannya untuk menjadi Institut.
Bahkan Mantan Presiden Jusuf Kalla sebagai alumni Unhas disebutnya sebagai salah satu inisiator.
Awalmya, ada dua nama yang diusulkan yakni Institut Teknologi Sulawesi dan Institut Teknologi Sultan Hasanuddin.
“Kenapa Sulawesi karena kita mengacu kepada Institut yang lain yang telah dibentuk oleh pemerintah yaitu Institut Teknologi Kalimantan dan Institut Teknologi Sumatera. Sementara Sulawesi belum ada. Itulah kemungkinan bisa menggunakan Institut Teknologi Sulawesi,” ujarnya 13 Maret 2022 lalu.
Namun pada akhirnya nama yang disepakati yakni Institut Teknologi Sultan Hasanuddin agar unsur Unhasnya tetap melekat.
Bahkan Prof Saleh mengklaim, pengambangan Institut Teknologi Sultan Hasanuddin telah lama didiskusikan dan diseminarkan bersama alumni, dosen dan masyarakat umum.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah menyetujui Fakultas Teknik Unhas ini menjadi Institut Teknologi dalam pertemuan bersama Rektor Unhas Prof Dwia, Mantan Ketua IKA Unhas Jusuf Kalla dan Dirjen Dikti di Jakarta pada 22 Februari lalu.
“Jadi konsepnya itu institut. Sebenarnya memang sudah keluar dari Unhas, Mandiri. Sama konsepnya dengan konsep institut lainnya,” tukasnya
Leave a Reply